Salah satu tonggak sejarah dalam mengembalikan kedaulatan hak atas hutan kepada masyarakat hukum adat adalah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PIU/2012 pada Maret 2013 yang menetapkan hutan adat tidak lagi sebagai hutan negara. Ini juga menandakan dimulainya era baru dalam upaya melembagakan partisipasi masyarakat hukum adat secara penuh dan efektif dalam pengelolaan sumber daya alam menuju Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Menindaklanjuti dasar hukum tersebut, sembilan kementerian dan lembaga terkait sepakat meluncurkan "Program Nasional Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) dengan Skema REDD+" yang akan memberikan kekuatan hukum, panduan penguatan kelembagaan, hingga panduan kerangka kerja bagi setiap pihak dalam pelaksanaan program REDD+ di Indonesia. (Foto: Sekretariat Wakil Presiden)
Masyarakat Hukum Adat telah membuktikan diri sebagai penjaga terbaik hutan. Namun demikian Masyarakat Hukum Adat juga menjadi pihak yang terdampak jika terjadi ketidakseimbangan fungsi hutan. Hutan menyuplai kebutuhan pangan, sumber obat-obatan, sandang hingga memenuhi kebutuhan spiritual dari Masyarakat Hukum Adat. Intinya ada hubungan ketergantungan antara hutan dan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam tataran kebijakan iklim, Masyarakat Hukum Adat termasuk dalam salah satu unsur penting penggerak kebijakan. Untuk melanjutkan tugas ini, hak dan keberadaan Masyarakat Hukum Adat perlu dimasukkan sebagai bagian dari kesepakatan perubahan iklim dan strategi perlindungan hutan.
Read More
Salah satu tonggak sejarah dalam mengembalikan kedaulatan hak atas hutan kepada masyarakat hukum adat adalah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PIU/2012 yang menetapkan hutan adat tidak lagi sebagai hutan negara. Ini juga menandakan dimulainya era baru dalam upaya melembagakan partisipasi masyarakat hukum adat secara penuh dan efektif dalam pengelolaan sumber daya alam menuju Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian.
Upaya pelibatan masyarakat adat dalam skenario mitigasi perubahan iklim telah diupayakan sejak lama dan terakselerasi dalam masa berdirinya BP REDD+. Salah satunya berwujud dalam Program Nasional Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui skema REDD+. Program ini merupakan titik kulminasi dari langkah-langkah parsial yang dilakukan oleh berbagai institusi negara dalam proses panjang pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat di Nusantara.
Dalam fase transisi program REDD+ di Indonesia proses pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat tetap menjadi program prioritas untuk perlindungan hutan melalui upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Bersama para mitra, Program REDD+ Indonesia bersinergi bagi peningkatan kapasitas dan pemberian dukungan teknis dalam akselerasi pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Pencapaian Program terkait Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Menggalang kesepahaman para penggiat MHA (AMAN, EPISTEMA, HUMA, BRWA, JKPP dan RMI) untuk bersinergi bagi peningkatan kapasitas, mendorong lahirnya Satgas PPMHA dan RUU PPMHA
Menginisiasi lokakarya sertifikasi wilayah adat
Mendorong penyusunan Perda PPMHA di lokasi model.
Fasilitasi dalam proses penyusunan Peraturan Menteri LHK terkait dengan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan oleh Masyarakat Adat.
Masyarakat Hukum Adat telah membuktikan diri sebagai penjaga terbaik hutan. Namun demikian Masyarakat Hukum Adat juga menjadi pihak yang terdampak jika terjadi ketidakseimbangan fungsi hutan.
Pimpinan Panitia Khusus 3 DPRD Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi pada 26 Januari 2016 berkunjung ke Jakarta. Pansus ini bertugas menyusun peraturan daerah (perda) tentang pengakuan masyarakat adat Marga Serampas.
Terdapat 3 opsi/pilihan menyelesaikan konflik di TNTN. Pertama, melakukan restorasi dan rehabilitasi di areal overlap dan ruang kosong seluas 3000 ha yang akan dijadikan model lahan rehabilitasi di Desa Lubuk Kembang Bungan dan Desa Air Hitam.
Perubahan iklim tidak boleh dibiarkan, karena akan membahayakan banyak orang. Ungkapan ini muncul dari Beteduh, 17, seorang remaja Orang Rimba dari Kelompok Kedundong Mudo di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Mediasi konflik di Tesso Nilo. Proses pertemuan mediasi dilakukan bersama dengan Staf Khusus Menteri LHK, Direktorat Kawasan Konservasi, Kepala Balai TN Tesso Nilo, WWF dan masyarakat yang meliputi 4 desa (terdiri dari etnis Melayu, Batak,...